ROGOBRATI "CARE"
- Home
- Products
- ormas karangtaruna
- Company
- Rogobranti
- Desa Bandung Kec. Wonosegoro ,Kab. Boyolali 57382
- Rogobranti
- Contact
085742300269
KARANGTARUNA MENGUCAPKAN
Jumat, 26 Februari 2016
Karanggede
Karanggede dan Sekelumit Cerita Tentang Rasialism Anti-Tionghoa
Karanggede sebuah daerah di utara Kab. Boyolali adalah sebuah daerah yang secara kesejarahan sepertinya telah di takdirkan menjadi daerah pusat perdagangan. dari tahun ke tahun roda perekonomian karanggede seakan tak pernah surut dan selalu mengalami kemajuan secara ekonomis. pertumbuhan perekonomian yang cukup pesat dari daerah inipun kemudian terkenal ke berbagai daerah yang kemudian setalael tiga wang investor pun datang untuk menanamkan modalnya dan membuka usaha di wilayah karanggede. Namun dari sekian cerita keajaiban ekonomi tersebut, tidak pernah ada yang menyangka jika daerah karanggede adalah daerah yang sejara historis memiliki cerita pilu mengenai aksi rasialism yang berupa sentimen etnis, pembunuhan dan pengusiran etnis Tionghoa pada awal abad 20 atau sekitar tahun 1910. Sikap rasialis ini bukanlah sebuah aksi sepihak yang terlepas dari causalitas (sebab-akibat) akan tetapi ada sejumlah rentetan kejadian yang mendorong aksi rasialism ini terjadi.
penelusuran sejarah rasialism di karanggede ini tidaklah mungkin terlepas dari sejarah pendirian organisasi Sarekat Dagang Islam (SDI) yang lahir di solo dan berkembang luas di seluruh karisidenan Surakarta termasuk di dalamnya adalah Kec. Karanggede. Organisasi Sarekat Dagang Islam (SDI) pada awalnya merupakan perkumpulan pedagang-pedagang Islam. Organisasi ini dirintis oleh KH. Samanhudi di Surakarta pada tahun 1905, dengan tujuan awal untuk menghimpun para pedagang pribumi Muslim agar dapat bersaing dengan pedagang-pedagang besar Tionghoa. Pada saat itu, pedagang-pedagang tersebut telah lebih maju usahanya dan memiliki hak dan status yang lebih tinggi dari pada penduduk Indiegenouse People (Pribumi Jawa). Kebijakan yang sengaja diciptakan oleh pemerintah Hindia-Belanda (sebagai alat politik pecah belah tionghoa-pribumi) tersebut kemudian menimbulkan perubahan sosial karena timbulnya kesadaran diantara kaum pribumi.
Berdirinya SDI di solo segera disambut oleh daerah – daerah lain yang ikut mendirikan cabang atau bergabung dibawah payung SDI. dan dari sinilah kemudian banyak penduduk karanggede yang bergabung kedalam SDI karena di saat itu pasar karanggede adalah pasar yang di dominasi oleh pedagang tionghoa. dari sebuah sumber yang penulis dapat, dahulu di sekitaran depan pasar karanggede atau tepatnya dari area toko berlian ke utara sampai dengan perempatan besar (patung kuda prawiro digdoyo) dan selatan pasar karanggede adalah pertokoan yang dikuasai oleh para pedagang tionghoa. kaum tionghoa cukup dominan kala itu dalam bisnis jual-beli tembakau, candu (morfin), rempah-rempah, dan beras. dari sekian kenyataan itulah kemudian rasa sentimen etnis muncul dikalangan pribumi sehingga memutuskan untuk bergabung kedalam SDI dengan tujuan menyatukan solidaritas untuk bersaing dengan kaum tionghoa.
Seperti balon udara yang terus di pompa pasti akan meletus juga , begitu pula dengan konflik dagang pribumi – tionghoa pada akhirnya pecah juga pada sekitar tahun1918 rumah-rumah dan toko-toko milik orang Tionghoa di karanggede habis dijarah dan dirusak, perkelahian massal pun terjadi oleh massa Sarekat Dagang Islam dengan parang pedagang tionghoa. sampai akhirnya kaum tionghoa terusir ke wilayah salatiga dan daerah-daerah sekitarnya, dan tidak embali lagi ke karanggede.
Sumber : dari wawancara dengan beberapa pelaku sejarah.
RADEN TUMENGGUNG PRAWIRODIGDOYO
RADEN TUMENGGUNG PRAWIRODIGDOYO
Lahir kurang lebih pada tahun 1780 sebagai anak kedua dari
Raden Ngabehi Surotaruno III yang merupakan keturunan
dari ayah garis keenam dari I.S.K.S. Amangkurat Agung,
(Tegal) keturunan dari Pangeran Notobroto I, Ibu garis
keempat dari I.S.K.S. Pakubuwono I (Pangeran Puger) dari
B.P.H. Puruboyo (Lumajang).
Raden Tumenggung Prawirodigdoyo dibesarkan di daerah
Gagatan dan semenjak masih kecil telah memiliki kelebihan
dibandingkan dengan teman-teman sebayanya sebagai
contoh pada waktu menginjak usia 8 tahun, Raden
Tumenggung Prawirodigdoyo telah bisa menaiki kuda dan
hari-demi hari teman-teman sepermainannya semakin
sayang dengannya.
Gagatan merupakan dukuh di kaki pegunungan Kendeng
terletak ditepi sungai ketoyan (Wonosegoro), sedangkan arti
gagatan sendiri ada bermacam-macam yaitu dari kata gagat
yang bermakna pagi-pagi benar atau sebelum matahari
terbit, ettapi jika dibaca dengan menggunakan aksara jawa
maka gagat sendiri adalah berarti kuat sekali yang memiliki
makna apabila beradu kekuatan sampai titik darah
penghabisan (dilabuhi pecahing dada, wutahing ludira), jika
dipisah suku kata gagatan akan menjadi dua kata yang
bermakna lain yaitu gaga (padi yang ditanan di ladang) dan
ketan (padi ketan).
Di Gagatan jika kita berkunjung kesana maka akan kita
jumpai gundukan tanah yang menurut cerita terdapat dua
versi yang pertama adalah makam Kyai Berah atau Dinrah
(yang berasal dari kata modin dan lurah) yang kediua
menurut K.R.M. Mloyosunaryo gundukan tersebut adalah
bekas galian tanah tempat bertapa pendem I.S.K.S
Pakubuwono VI bersama-sama dengan Raden Tumenggung
Prawirodidoyo yang memberikan ilmunya berupa Ajidipa
dan membuat sumpah untuk memerangi penjajah Belanda.
Penjajahan Belanda kian hari menjadi kian kejam, dan hal ini
juga dirasakan didaerah Gagatan, sebelum
pecah perang Diponegoro telah banyak persekutuan antara
penguasa daerah menentang penjajahan Belanda.
Menurut cerita, Raden Tumenggung Prawirodidoyo memiliki
pasukan sejumlah 6000 orang dengan bersenjatakan
tombak, pedang, bandil dan empat buah pucuk meriam dan
memiliki sebuah pusaka yang berupa sebuah kentongan
pemberian dari Kyai Gunung Merbabu dengan khasiat
apabila dipukul satu kali dapat terdengar diseluruh
Kabupaten, rakyat yang mendengarnya akan siap siaga dan
apabila dipukul dua kali maka bagi yang tidur akan bangun
semua dan siap siaga dan yang takut menjadi pemberani,
jika dipukul tiga kali, semuanya akan berangkat ke Gagatan
dengan senjata lengkap. Hal tersebut ternyata diketahui oleh
pihak Belanda dan ditulis dalam buku De Java Oorlog jilid I
halaman 362.
Kegigihan Raden Tumenggung Prawirodidoyo dan I.S.K.S
Pakubuwono VI dalam menumpas Belanda digambarkan
sebagai seorang yang naik kuda yang baru ditangkap dari
hutan dan terus dinaiki sampai di kancah peperangan,
sedangkan I.S.K.S Pakubuwono VI digambarkan sebagai
seekor harimau buas yang ditusuk-tusuk oleh tombak.
R.T. Prawirodigdoyo didampingi oleh Kyai singomanjat
Imam Rozi, Kyai Singolodra Umar Sidig dan Kyai Suhodo
Som dan Kyai Singoyudo pada tahun 1827 mengadakan
peperangan di Desa Klengkong dan pihak belanda yang
waktu itu dipimpin oleh Mayor Has, Kapten Win dan Regel
dan senopati dari Mataram antara lain B.P.H Murdaningrat,
B.P.H Hadiwinoto, B.P.H. Hadiwijoyo dan R.T Nitinegoro
bertempur dengan hebatnya, terlihat bahwa kekuatan kedua
kubu seimbang dan seorang dari prajurit yang ada di
Klengkong yang berpakaian celana bludru biru dengan baju
tretes dengan srempang kuning emas besar dan bertopi
bundar besar (songkok) yang tidak lain adalah telah terjatuh
dari kudanya setelah terkena peluru meriam, namun masih
dapat diselamatkan oleh para prajurit dan dibawa ke Desa
Kedung Gubah dan dirawat oleh R.A. Sumirah selama 15
hari dan tepatnya sampai pada malam Jumat Pon tanggal
30 Nopember 1827 gugur karena luka dalam yang
dideritanya. sebelum meninggal Raden Tumenggung
Prawirodidoyo berpesan agar nanti jasadnya dimakamkan di
dekat makam gurunya Seh Kalikojipang di makam Blunyah
Gede dan saat nanti agar Pangeran Diponegoro serta
senopati-senopati yang ada supaya lebih berhati-hati sebab
sekembalinya setelah berpesan demikian Raden
Tumenggung Prawirodidoyo menghembuskan nafas terahir
disaksikan oleh Pangeran Diponegoro, Kyai Mojo, dan R.A.
Sumirah dan seperti pesan terahir yang disampaikan Raden
Tumenggung Prawirodidoyo dimakamkan di Makam Bluyah
Gede.
waduk bade
WISATA BOYOLALI
Waduk Bade Diusulkan Jadi Objek Wisata
Petani menjaring ikan di Waduk Bade, Kecamatan Klego, Boyolali, Senin (16/9/2013). Volume air waduk tersebut mulai menyusut drastis pada musim kemarau ini. Petani menjaring ikan di Waduk Bade, Kecamatan Klego, Boyolali, Senin (16/9/2013). Volume air waduk tersebut mulai menyusut drastis pada musim kemarau ini. (Oriza Vilosa/JIBI/Solopos)
BOYOLALI–Sejumlah warga Kecamatan Klego menyesalkan tindakan Pemerintah Kabupetan (Pemkab) Boyolali yang tidak serius menjadikan Waduk Bade di sekitar mereka sebagai tempat wisata.
Salah seorang warga RT 005/RW 005 Desa Bade, Sudardi, 62, mengatakan Pemkab hanya membangun sejumlah pos di berbagai titik di sekitar waduk sebagai fasiltas penujang wisata. Pos tersebut digunakan sebagai tempat pembayaran atau retribusi pengunjung yang hendak masuk wilayah Waduk Bade.
“Sudah ada pos untuk ditempati pengelola waduk. Tapi tetap itu fasilitas untuk pengelola bukan pengunjung. Jadi sebenarnya tidak ada fasilitas yang khusus sebagai sarana penunjang agar Waduk Bade bisa jadi tempat wisata,” kata Sudardi saat dijumpai Solopos.com di sekitar Waduk Bade, Jumat (5/9/2014).
Sudardi menilai Waduk Bade berpotensi sebagai tempat wisata karena menyajikan pemandangan alam yang cukup indah. Namun, pemandangan saja tidak bisa dijadikan sebagai modal penjualan atau promosi Waduk Bade agar terus dapat dikunjungi wisatawan.
“Pemandangan Waduk Bade bagus namun saya yakin lama-lama masyarakat yang sering menyaksikan akan bosan. Kondisi tersebut bisa berubah jika ada perubahan kondisi di sekitar waduk. Misalnya, saya menilai perlu ada taman bermain untuk menarik perhatian masyarakat luas,” ujar Sudardi.
Wisatawan
Senada dengan Sudardi, salah satu pengelola Waduk Bade, Joko Susanto, 30, mengatakan tidak ada hal yang istimewa sebagai daya tarik wisatwan untuk berkunjung ke Waduk Bade selain pemandangan. Masyarakat yang datang ke waduk hanya menikmati pemandangan panorama air.
“Selain menikmati pemandangan ada juga dari pengunjung yang datang untuk memancing. Jadi memang kondisi waduk seadanya. Tidak seperti Waduk Gajah Mungkur yang mampu menyedot banyak pengunjung dengan berbagai sarana penunjang wisata yang mereka miliki. Ya, minimal kami perlu ada taman outbond dan kolam renang,” kata Joko.
Pantauan Solopos.com, Jumat siang, kondisi Waduk Bade sepi. Hanya terlihat aktivitas beberapa orang yang sedang menjaring ikan dan memancing di sekitar waduk. Selain itu, tampak juga sejumlah petani berada di sawah di sekitar waduk tersebut.
“Pengunjung mulai datang sore hari. Namun, mereka juga hanya masyarakat sekitar waduk. Jadi mereka tidak membayar retribusi. Jalan masuk ke wilayah waduk kan juga akses kampung. Jadi saya hanya bisa memperkirakan, apabila yang datang orang asing, saya coba tetap tarik retribusi. Tapi selama ini ya sepi-sepi saja pengnjung,” imbuh Joko.
Jumlah pengunjung dalam sehari, lanjut Joko, rata-rata paling banyak hanya terdiri dari 8 motor sampai 10 motor. Dari jumlah tersebut, pengelola mampu mengantongi omzet dari retribusi sebesar Rp40.000.
“Apabila Waduk Bade dijadikan tempat wisata sebenarnya bukan hanya menguntungkan pengelola tapi masyarakat sekitar. Semua berkesempatan untuk memperoleh kerja. Bisa sebagai pengelola atau menjajakan makanan ke pengunjung. Memang menjadi harapan banyak masyarakat Waduk Bade bisa ramai,” kata Joko.
ASAL USUL
ASAL USUL
Asale Tugu Adipura 0 KM Boyolali, Legenda Ki Ageng Pandan Arang
Tugu Adipura di depan Taman Sonokridanggo, Boyolali. (Hijriah AW/JIBI/Solopos)Tugu Adipura di depan Taman Sonokridanggo, Boyolali
|
Asal usul kali ini mengenai Tugu Adipura Boyolali.
BOYOLALI – Selama ini masyarakat Boyolali sering menduga bahwa titik nol kilometer Boyolali ada di Tugu Jam depan Pasar Boyolali Kota.
Namun perkiraan masyarakat selama ini kurang tepat. Titik nol kilometer Boyolali justru berada di kawasan Tugu Adipura atau depan Taman Sonokridanggo.
Di sisi selatan Tugu Adipura, terdapat sebuah pasak yang menunjukkan jarak antara Boyolali tepatnya di titik nol kilometer dengan daerah di sekelilingnya. Misalnya, jarak ke Kota Solo sekitar 26 km ke arah timur, ke Kota Semarang sekitar 74 km ke arah utara, dan ke Magelang sekitar 60 km ke arah barat.
“Ya, di situ [kawasan Tugu Adipura] adalah nol kilometernya Boyolali,” kata Kepala DPU dan ESDM Boyolali, M.Qodri, kepada Solopos.com.
Kawasan itu menjadi jantung kota. Dari pagi hingga malam, ramai kendaraan dan masyarakat yang melintas. Selain berada di pusat kota, kawasan titik nol kilometer ini berada di Jl.Pandanaran yang merupakan ruas jalan utama Solo-Semarang.
Titik nol kilometer ini erat kaitannya dengan sejarah Kabupaten Boyolali. Namun, tak lama lagi kawasan di sekitar Tugu Adipura akan berubah. Qodri memastikan Tugu Adipura ini akan dibongkar dan diganti menjadi patung Arjuna Wiwaha, yang merupakan bagian dari proyek jalan simpang lima Boyolali.
“Tugu Adipura nantinya akan dibongkar diganti patung, patung Arjuna Wiwaha,” kata Qodri.
Legenda Pandan Arang
Berdasar cerita yang berkembang di masyarakat, titik nol kilometer ini tak jauh dari tempat dicetuskan nama Boyolali oleh Ki Ageng Pandan Arang (Bupati Semarang abad XVI).
Menurut legenda, Ki Ageng Pandan Arang yang diutus oleh Sunan Kalijaga menuju ke Gunung Jabalakat di Tembayat, Klaten, untuk syiar agama Islam. Dalam perjalananannya dari Semarang menuju Tembayat, Ki Ageng banyak menemui rintangan sebagai ujian.
Ki Ageng Pandan Arang meninggalkan anak istrinya dan tiba di suatu tempat yang banyak pohon bambu kuning atau bambu Ampel. Tempat inilah sekarang dikenal dengan nama Ampel yang merupakan salah satu kecamatan di Boyolali. Ki Ageng Pandan Arang semakin jauh meninggalkan anak dan istri.
Sambil menunggu mereka, Ki Ageng beristirahat di sebuah batu besar yang konon berlokasi di dekat Pasar Sunggingan. Dalam istirahatnya, Ki Ageng berucap “baya wis lali wong iki” yang dalam bahasa indonesia artinya “Sudah lupakah orang ini”. Dari kata baya wis lali itu, jadilah nama Boyolali.
simpanglima boyolali
Patung Arjuna Wijaya di Simpang Lima Boyolali
Ikon terbaru di Boyolali
Satu lagi ikon dari sekian banyak ikon yang dibangun di Boyolali. Ikon yang juga bagian dari proyek pembangunan simpang lima atau namanya Taman Siaga. Patung Arjuna Wijaya sudah jadi lho . Sudah banyak yang selfie dan foto – foto di patung ini.
Oh iya untuk Patung Arjuna Wijaya sendiri , jumlah kuda dalam patung tersebut juga akan menjadi yang paling banyak. Nantinya akan ada 13 patung kuda berbahan tembaga yang akan dipasang ( hitung sendiri coba ada berapa ? kan sudah jadi ). Patung Arjuna Wijaya ini nanti mengambarkan kereta kencana yang dikendarai oleh Arjuna dan Krisna.Patung arjuna wijaya yang waktu lalu dalam proses pengerjaan di Yogyakarta dengan nilai proyek senilai Rp 6 miliar sudah terpasang.
Waduk Cengklik ini terletak di Desa Ngargorejo, Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Boyolali, Provinsi Jawa Tengah. Lokasi waduk ini berada di sebelah barat Bandara Internasional Adi Sumarmo menuju ke arah Sambi.
Menurut sejarahnya, waduk Cengklik dibangun pada tahun 1926-1928 oleh Pura Mangkunegaran dan Pemerintah Kolonial Belanda. Waduk buatan ini merupakan fasilitas publik dengan membendung sungai yang datangnya dari arah Sambi dan sekitarnya, untuk memberikan pasokan air guna mengairi sawah dan perkebunan milik Pura Mangkunegaran. Nama Cengklik sendiri itu diambil dari dukuh pertama yang dimulai menjadi waduk, yaitu Dukuh Cengklik.
Waduk dengan luas sekitar 250 hektar ini, pada tahun 1970 masih mampu menampung air sebanyak 17,5 juta meter kubik. Pada tahun 1998, kapasitas air menurun menjadi 12,5 juta meter kubik, dan saat ini waduk diperkirakan hanya mampu menampung sekitar 9 juta meter kubik. Sehingga, akhirnya kapasitas air waduk Cengklik tersebut sudah tidak mencukupi untuk irigasi ribuan hektar sawah petani di tiga kecamatan, yaitu Sambi, Ngemplak, dan Nogosari. Salah satu konsekuensi nyata, adalah dengan berhenti produksinya Pabrik Gula (PG) Colomadu milik Pura Mangkenagaran lantaran minimnya pasokan air untuk lahan tebu milik penduduk yang menyuplai tebu ke PG Colomadu tersebut.
Kendati fungsi waduk tersebut sekarang sudah tidak maksimal lagi sebagai penyedia air bagi irigasi, akan tetapi keberadaan waduk itu secara historis masih bisa direvitalisasi. Selain dimanfaatkan oleh penduduk setempat untuk memerlihara ikan dalam bentuk keramba dan bercocok tanam, waduk Cengkilk bisa dikembangkan menjadi kawasan wisata air yang cukup prospektif. Pulau-pulau kecil yang ada di tengah waduk bisa menjadi pemandangan tersendiri bagi pengunjung yang menikmati waduk dari tepian maupun yang berkeliling menggunakan perahu tempel yang ada di waduk tersebut.
Penataan ruang publik di tepian waduk dengan dipadu kuliner berbahan dasar ikan khas waduk sangat diperlukan. Penataan ruang publik yang baik tentunya akan menjadi nilai tambah tersendiri bagi citra waduk dan dalam skala luas adalah kepariwisataan di Boyolali. *** [290714]
CANDI LAWANG
CANDI LAWANG
Disebut Candi Lawang karena sisa bangunan yang ditemukan saat ini menyerupai sebuah pintu (lawang=Jawa). Pada yang sebenarnya bentuk pintu ini adalah sisa reruntuhan bangunan tubuh candi yang tidak atau belum sempurna terbangun.
Candi Lawang sebenarnya sebuah “kompleks percandian” yang terdiri atas sedikitnya 7 bangunan. Ketujuh bangunan yang sudah dapat dikenali adalah satu Bangunan Induk, dua bangunan perwara di kanan dan kiri bangunan induk, serta tiga bangunan di atas satu batur yang berada di depan ketiga bangunan tersebut, dan satu batur reruntuhan candi kecil yang berada di belakang candi utama.
Ciri lain yang dapat ditemukan adalah arah bangunan induk dan bangunan perwara di kiri dan kanan dan satu bangunan candi kecil belakang candi utama yang menghadap ke arah barat; sedangkan tiga bangunan di depannya menghadap kearah timur atau berhadapan dengan bangunan utama. Keragaman susunan bangunan kompleks Candi Lawang mengingatkan pada kompleks percandian Prambanan.
Sedang candi yang menghadap ke timur mengingatkan susunan bangunan yang ada di candi Gedong Sanga. Ciri kedunya adalah bangunan induk di apit oleh dua bangunan yang lebih kecil di kiri dan kanan ( seperti Candi Brahma dan Wisnu di Prambanan), serta tiga bangunan lain di depannya (tiga candi kendaraan di candi Prambanan). Yang membedakan dengan candi Prambanan adalah arah hadap, yaitu Candi Prambanan menghadap ke arah timur, sedangkan Candi Lawang menghadap ke arah Barat. Perbedaan dengan candi Gedong Sanga adalah kemungkinan candi perwara yang ada di hadapan candi Induk terbangun secara terpisah, sedang candi Gedong Sanga menyatu. Perbedaan mendasar lain adalah ukuran kompleks dan bangunannya, Candi Lawang lebih kecil dibandingkan Candi Prambanan, di mana bahawa pagar kompleks Candi Lawang diduga berukuran 25,70 x 25,70 meter, sedangkan pagar halaman pertama Candi Prambanan berukuran jauh lebih luas.
Seperti candi Prambanan, latar belakang keagamaan kompleks Candi Lawang adalah Hindu, yang antara lain ditunjukkan oleh keberadaan yoni. Dari segi arsitektur, di antara kaki candi dan tubuh candi terdapat profil berupa sisi genta, persegi,bertubuh ramping , dan berpusat di tengah, yang menunjukkan bahwa bangunan Candi Lawang berlanggam Jawa Tengah. Berdasarkan identifikasi tersebut dan juga bentuk huruf pada prasasti yang ada di pintu masuk candi, bentuk ratna pada kemuncak, serta ragam hias yang ada, diduga kompleks Candi Lawang didirkan pada abad ke-9 Masehi, yaitu pada masa kerajaan Mataram Kuna.
Candi Lawang dibangun di lereng sebuah bukit berdekatan dengan sebuah sungai kecil yang berada di sebelah utara bangunan, walau sungai kecil ini sangat sedikit debit airnya. Sebagai alas fondasi digunakan tatal batu dan kerakal yang masih bisa dilihat saat ini. Di atas alas inilah kemungkinan fondasi dibangun berupa tiga lapis susunan balok-balok batu yang digarap dengan penghalusan yang belum sempurna pada setiap sisinya. Selanjutnya didirikan kaki candi, tubuh candi, hingga bagian atap candi.
Jika dilihat kondisi bangunan candi sekarang bagian tubuh dan atap bangunan banyakyang hilang batunya atau bahkan memang belum tersusun secara sempournya waktu pembangunannya. Bebeapa komponen bangunan menunjukkan bahwa Candi Lawang belum selesai dibangun. Hal ini antara lain ditunjukkan oleh beberapa batu penyusun pipi tangga bangunan induk dan bangunan perwara yang belum terukir kala makara atau pun dwara jala sebagai hiasannya secara sempurna. Selain itu, beberapa hiasan juga menunjukkan belum selesai dikerjakan.
Selain Candi Lawang, di sekitar situs ada juga yasitus lain yang diduga semasa dengan masa pembuatan Candi Lawang, yaitu Candi Sari, Patirtan Sumur Pitu (Cabean Kunti), Sumur Songo, dan beberapa bangunan kecil lainnya. Candi Lawang diperkirakan merupakan bagian dari situs-situs masa Mataram Kuna di lereng timur Merapi dengan ketinggian 932 m dpl.
Keberadaan Candi Lawang dianggap ini masih asing oleh sebagian besar masyarakat Boyolali.
Sekelumit Peduli Peninggalan Sejarah di Boyolali
Sekelumit Peduli Peninggalan Sejarah di Boyolali
Berusaha mengungkap menurut data dan fakta seadanya tentang sumber sumber sejarah di wilayah Kabupaten Boyolali
Rabu, 24 Oktober 2012
MATERI TAMBAHAN UNTUK KERAJAAN MAJAPAHIT
L Kerajaan Majapahit
Kerajaan Majapahit dapat dikatakan sebagai kelanjutan Kerajaan Singasari. Alasannya, Raden Wijaya sebagai pendiri Kerajaan Majapahit merupakan salah seorang pangeran dari Kerajaan Singasari yang berhasil meloloskan diri ketika Jayakatwang dari Kediri menghancurkan Singasari. Raden Wijaya melarikan diri ke Sumenep (Madura) untuk meminta perlindungan kepada Arya Wiraraja. Setelah berada di Madura, Raden Wijaya mulai menyusun taktik dan strategi untuk merebut kembali takhta Kerajaan Singasari.
Atas nasihat Arya Wiraraja, Raden Wijaya menyerah dan berpura-pura bersedia menghambakan diri kepada Jayakatwang agar dapat mengatur siasat menggulingkannya. Atas jaminan Arya Wiraraja, Raden Wijaya diterima mengabdi di Kediri oleh Jayakatwang. Raden Wijaya sangat rajin bekerja dan taat kepada raja sehingga memperoleh kepercayaan penuh. Setelah memperoleh kepercayaan raja, Raden Wijaya dianjurkan oleh Arya Wiraraja agar memohon kepada raja untuk dapat menempati daerah ”liar” di utara Pegunungan Arjuna guna membuka permukiman baru di sana. Permohonan itu pun dikabulkan oleh Jayakatwang. Daerah ”liar” yang disebut hutan Tarik segera dibuka dengan bantuan para prajurit dari Madura.
Dalam waktu singkat, hutan Tarik cepat berkembang. Penduduk dari daerah sekitar hutan Tarik mulai berdatangan. Raden Wijaya segera menghimpun penduduk, terutama kaum muda. Mereka dilatih menjadi prajurit yang gagah berani dan persenjataannya pun dilengkapi. Makin hari makin mantap persiapannya. Hutan Tarik kemudian terkenal dengan nama Majapahit. Di Madura, Arya Wiraraja pun sudah bersiap-siap dengan prajuritnya untuk membantu Majapahit menyerang Kediri.
Bertepatan dengan selesainya persiapan untuk melawan Raja Jayakatwang, tentara Mongol yang dikirim oleh Kubhilai Khan untuk menghukum Kertanegara telah tiba di Jawa. Mereka dipimpin oleh Shihpi, Ka-Hsing, dan Iheh-mi-shih. Tentara Mongol sebagian mendarat di Tuban dan lainnya mendarat di Sedayu (Sugalu), Gresik. Tentara Mongol setelah mendarat segera berkuda bergerak cepat menuju Kediri.
Ketika bertemu perutusan tentara Mongol, Raden Wijaya berpura-pura bersedia mengakui kekuasaan Kubhilai Khan dan membantu menghukum Raja Jawa di Kediri. Sebagian prajurit Majapahit bergabung dengan tentara Mongol dan bergerak ke arah Kediri.
Jayakatwang tidak kuasa membendung serbuan tentara gabungan Mongol–Majapahit yang datang secara mendadak. Akibatnya, hancurlah pertahanan Kediri. Raja Jayakatwang tertangkap dan dibawa ke benteng pertahanan tentara Mongol di Ujung Galuh. Di sana Jayakatwang dibunuh oleh tentara Mongol. Dengan taktik dan strategi yang jitu, Raden Wijaya dan Arya Wiraraja berbalik menyerbu tentara Mongol dari berbagai jurusan. Tentara Mongol tidak menyangka adanya serangan balik sehingga tidak dapat bertahan. Akibatnya, lebih dari 3.000 tentara Mongol dapat dibinasakan, sedangkan sisanya lari tunggang-langgang menuju ke kapal untuk pulang ke negerinya.
a. Aspek Kehidupan Politik
Kehidupan politik yang terjadi di Kerajaan Majapahit dapat dilihat pada masa pemerintahan raja-raja berikut ini.
1) Raden Wijaya (1293–1309)
Raden Wijaya dinobatkan menjadi Raja Majapahit pertama pada tahun 1293 dengan gelar Kertarajasa. Para sahabatnya yang ikut berjuang tidak disia-siakan. Mereka diangkat menjadi pejabat negara. Arya Wiraraja yang paling berjasa diberi kedudukan tinggi dan berkuasa di daerah Lumajang hingga Blambangan. Nambi diberi kedudukan sebagai rakryan mahapatih, Sora sebagai patih di Daha, dan Rangga Lawe sebagai amanca nagara di Tuban.
Ternyata ada sahabat Raden Wijaya yang tidak puas dengan jabatan yang diterimanya sehingga terjadi pemberontakan. Pemberontakan pertama terjadi pada tahun 1295 yang dilakukan oleh Rangga Lawe (Parangga Lawe) Bupati Tuban. Rangga Lawe memberontak karena tidak puas terhadap kebijaksanaan Kertarajasa yang dirasa kurang adil. Kedudukan Patih Majapahit seharusnya diberikan kepadanya. Namun, oleh Kertarajasa kedudukan itu telah diberikan kepada Nambi (anak Wiraraja). Pemberontakan Rangga Lawe dapat ditumpas dan ia tewas oleh Kebo Anabrang. Lembu Sora, sahabat Rangga Lawe, karena tidak tahan melihat kematiannya, kemudian membunuh Kebo Anabrang. Peristiwa itu dijadikan alasan Mahapatih yang mempunyai ambisi politik besar di Majapahit menyusun strategi agar raja bersedia menghukum tindakan Lembu Sora.
Lembu Sora membangkang perintah raja dan mengadakan pemberontakan pada tahun 1298–1300. Lembu Sora gugur bersama sahabatnya, Jurudemung dan Gajah Biru.
Untuk memperkuat kedudukannya sebagai Raja Majapahit, Raden Wijaya menikahi keempat putri Kertanegara, yaitu Tribhuwaneswati, Narendraduhita, Prajnaparamita, dan Gayatri. Hal itu dimaksudkan agar tidak lagi terjadi perebutan kekuasaan oleh anggota keluarga Kertanegara lainnya. Di samping itu, Raden Wijaya juga memperistri Dara Petak, putri dari Melayu yang dibawa oleh prajurit Singasari dari tugasnya di Melayu.
Perkawinan Raden Wijaya dengan Tribhuwaneswati mempunyai anak, yaitu Jayanegara, sedangkan dengan Gayatri memiliki dua orang putri, yaitu Tribhuwanatunggadewi (Bhre Kahuripan) dan Pajadewi Maharaja (Bhre Daha). Keturunan dari Gayatri itulah yang nanti akan melahirkan raja-raja besar di Majapahit.
Susunan pemerintahan Kertarajasa tidak banyak berbeda dengan pemerintahan Singasari. Raja dibantu oleh tiga orang mahamenteri (i hino, i sirikan, dan i halu) dan dua orang pejabat lagi, yaitu rakryan rangga dan rakryan tumenggung. Pada tahun 1309 Kertarajasa wafat dan di-dharma-kan di Simping dengan Arca Syiwa dan di Antahpura (di kota Majapahit) dengan arca perwujudannya berbentuk Harihara (penjelmaan Wisnu dan Syiwa).
2) Sri Jayanegara (1309–1328)
Setelah Kertarajasa mangkat, digantikan putranya yang bernama Kala Gemet dengan gelar Sri Jayanegara. Kala Gemet sudah diangkat sebagai raja muda (kumararaja) sejak ayahnya masih memerintah (1296). Ternyata, Jayanagara adalah raja yang lemah. Oleh karena itu, pada masa pemerintahannya terus dirongrong oleh serentetan pemberontakan.
Pada tahun 1316 timbul pemberontakan yang dipimpin oleh Nambi yang menjabat Rakryan Patih Majapahit. Nambi memusatkan kekuatannya di daerah Lumajang dan Pajarakan. Pemberontakan Nambi mendapat dukungan dari ayahnya (Wiraraja). Raja Jayanegara atas nasihat Mahapati memerintahkan Lumajang dan Pajarakan digempur sampai hancur. Terjadilah pertempuran sengit dan Nambi pun gugur.
Keadaan belum pulih, terjadi lagi pemberontakan Semi pada tahun 1318. Setahun kemudian (1319) terjadi pemberontakan Kuti. Semi dan Kuti adalah dua orang dari tujuh dharmmaputra. Pemberontakan inilah yang paling berbahaya karena Kuti berhasil menduduki ibu kota Kerajaan Majapahit. Jayanegara terpaksa melarikan diri dan mengungsi ke Badander di bawah perlindungan pasukan Bayangkari yang dipimpin oleh Gajah Mada.
Setelah raja dalam keadaan aman, Gajah Mada kembali ke Majapahit untuk melakukan pendekatan kepada rakyat. Ternyata masih banyak rakyat yang memihak raja dan Gajah Mada pun berhasil menanamkan rasa kebencian kepada Kuti. Dengan strategi yang jitu, Gajah Mada mengadakan serangan secara tiba-tiba ke pusat kerajaan. Pasukan Kuti dapat dihancurkan dan Kuti tewas dalam pertempuran itu. Setelah keadaan benar-benar aman, Jayanegara pulang ke ibu kota untuk meneruskan pemerintahannya. Karena jasanya yang besar, Gajah Mada diangkat menjadi Patih Kahuripan. Dua tahun berikutnya, ia diangkat menjadi Patih Daha menggantikan Arya Tilan (1321).
Pada tahun 1328 terjadilah musibah yang mengejutkan. Raja Jayanegara dibunuh oleh Tanca (seorang tabib kerajaan). Tanca kemudian dibunuh oleh Gajah Mada. Peristiwa itu disebut Patanca. Jayanegara di-dharma-kan di Candi Srenggapura di Kapopongan.
3) Tribhuwanatunggadewi Jayawisnuwarddhani (1328–1350)
Raja Jayanegara tidak berputra sehingga ketika baginda mangkat, takhta kerajaan diduduki oleh adik perempuannya dari ibu berbeda (Gayatri) yang bernama Bhre Kahuripan. Ia dinobatkan menjadi Raja Majapahit dengan gelar Tribhuwanatunggadewi Jayawisnuwarddhani. Selama memerintah, Tribhuwanatunggadewi didampingi suaminya yang bernama Cakradhara atau Cakreswara yang menjadi raja di Singasari (Bhre Singasari) dengan gelar Kertawardhana. Berkat bantuan dan saran dari Patih Gajah Mada, pemerintahannya dapat berjalan lancar walaupun masih timbul pemberontakan.
Pada tahun 1331 timbul pemberontakan Sadeng dan Keta di daerah Besuki, tetapi dapat dihancurkan oleh pasukan Gajah Mada. Karena jasanya itu, Gajah Mada naik pangkat lagi dari Patih Daha menjadi Mahapatih Majapahit menggantikan Pu Naga. Setelah diangkat menjadi Mahapatih Majapahit, dalam suatu persidangan besar yang dihadiri oleh para menteri dan pejabat negara lainnya, Gajah Mada mengucapkan sumpah untuk menyatukan Nusantara di bawah naungan Majapahit. Sumpahnya itu dikenal dengan nama Sumpah Palapa. Palapa berarti garam atau rempah-rempah yang dapat melezatkan berbagai masakan. Oleh karena itu, sumpah itu dapat diartikan bahwa Gajah Mada tidak akan makan palapa (hidup enak) sebelum berhasil menyatukan Nusantara.
Semula banyak pejabat negara yang menertawakannya, tetapi Gajah Mada sudah bertekad baja, bersemangat membara, dan maju terus pantang mundur. Gajah Mada mempersiapkan segala sesuatunya untuk mewujudkan sumpahnya, seperti prajurit pilihan, persenjataan, dan armada laut yang kuat. Setelah persiapannya matang, tentara Majapahit sedikit demi sedikit bergerak menyerang untuk menaklukkan wilayah kerajaan lain.
Pada tahun 1334 Bali berhasil ditaklukkan oleh Gajah Mada yang dibantu oleh Laksamana Nala dan Adityawarman. Adityawarman adalah seorang pejabat Majapahit keturunan Melayu dan berkedudukan sebagai werdhamantri dengan gelar Arya Dewaraja Pu Aditya. Setelah penaklukkan Bali, satu demi satu daerah di Sumatera, Semenanjung Malaka, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Irian (Papua) bagian barat berhasil ditundukkan dan mengakui kekuasaan Majapahit. Tugas besar itu tercapai pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk. Agar pengakuan kekuasaan Majapahit di Sumatera kekal, Adityawarman diangkat menjadi raja di Melayu menggantikan Mauliwarmadewa (1343). Adityawarman segera menata kembali struktur pemerintahan dan meluaskan daerah kekuasaannya hingga Pagarruyung–Minangkabau. Setelah itu, Adityawarman memindahkan pusat kerajaan dari Jambi ke Pagarruyung. Adityawarman memerintah hingga tahun 1375.
Pada tahun 1372 Tribhuwanatunggadewi meninggal dan di-dharma-kan di Panggih dengan nama Pantarapurwa.
4) Raja Hayam Wuruk (1350–1389)
Hayam Wuruk setelah naik takhta bergelar Sri Rajasanagara dan dikenal pula dengan nama Bhre Hyang Wekasing Sukha. Ketika Tribhuwanadewi masih memerintah, Hayam Wuruk telah dinobatkan menjadi rajamuda (kumararaja) dan mendapat daerah Jiwana sebagai wilayah kekuasaannya. Dalam memerintah Majapahit, Hayam Wuruk didampingi oleh Gajah Mada sebagai patih hamangkubumi.
Hayam Wuruk adalah raja yang cakap dan didampingi oleh patih yang gagah berani pula. Pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk inilah Majapahit mencapai puncak kebesaran. Wilayah kekuasaannya hampir seluas negara Indonesia sekarang. Bahkan, pengaruhnya terasa sampai ke luar Nusantara, yaitu sampai ke Thailand (Campa), Indocina, dan Filipina Selatan. Dengan kenyataan itu, berarti Sumpah Palapa Gajah Mada benar-benar terwujud sehingga seluruh pembesar kerajaan selalu hormat kepadanya. Kecuali sebagai seorang negarawan dan jenderal perang, Gajah Mada juga ahli hukum. Ia berhasil menyusun kitab Kutaramanawa yang digunakan sebagai dasar hukum di Majapahit.
Pada saat pemerintahan Raja Hayam Wuruk, ada satu daerah di Pulau Jawa yang belum tunduk kepada Majapahit, yaitu Kerajaan Sunda di Jawa Barat. Kerajaan Sunda itu diperintah oleh Sri Baduga Maharaja. Gajah Mada ingin menundukkan secara diplomatis dan kekeluargaan. Kebetulan pada tahun 1357 Raja Hayam Wuruk bermaksud meminang putri Sri Baduga yang bernama Dyah Pitaloka untuk dijadikan permaisuri. Lamaran itu diterimanya. Dyah Pitaloka dengan diantarkan oleh Sri Baduga beserta prajuritnya berangkat ke Majapahit. Akan tetapi, ketika sampai di Bubat, Gajah Mada menghentikan rombongan pengantin. Gajah Mada menghendaki agar putri Kerajaan Sunda itu dipersembahkan kepada Hayam Wuruk sebagai tanda tunduk Raja Sunda kepada Majapahit. Tentu saja maksud Gajah Mada itu ditentang oleh raja dan kaum bangsawan Sunda. Akibatnya, terjadilah pertempuran sengit yang tidak seimbang. Sri Baduga beserta para pengikutnya gugur, Dyah Pitaloka bunuh diri di tempat itu juga. Peristiwa itu terkenal dengan nama Perang Bubat.
5) Raja Wikramawardhana (1389–1429)
Setelah Raja Hayam Wuruk mangkat, terjadilah perebutan kekuasaan di antara putra-putri Hayam Wuruk. Kemelut politik pertama meletus pada tahun 1401. Seorang raja daerah dari bagian timur, yaitu Bhre Wirabhumi memberontak terhadap Raja Wikramawardhana. Raja Wikramawardhana adalah suami Kusumawardhani yang berhak mewarisi takhta kerajaan ayahnya (Hayam Wuruk), sedangkan Bhre Wirabhumi adalah putra Hayam Wuruk dari selir.
Dalam kitab Pararaton, pertikaian antarkeluarga itu disebut Perang Paregreg. Pasukan Bhre Wirabhumi dapat dihancurkan dan ia terbunuh oleh Raden Gajah.
6) Raja Suhita (1429–1447)
Wikramawardhana wafat pada tahun 1429 dan digantikan oleh putrinya yang bernama Suhita. Penobatan Suhita menjadi Raja Majapahit dimaksudkan untuk meredakan pertikaian keluarga tersebut. Namun, benih balas dendam sudah telanjur tertanam pada keluarga Bhre Wirabhumi. Akibatnya, pada tahun 1433 Raden Gajah dibunuh karena dipersalahkan telah membunuh Bhre Wirabhumi. Hal itu menunjukkan bahwa pertikaian antarkeluarga Majapahit terus berlangsung.
7) Raja Majapahit Terakhir
Pada tahun 1447 Suhita meninggal dan digantikan Dyah Kertawijaya. Ia hanya memerintah selama empat tahun (1447–1451) karena pada tahun 1451 meninggal dan di-dharma-kan di Kertawijayapura. Apa yang diperbuat oleh raja tidak ada keterangan yang jelas.
Sepeninggal Kertawijaya, pemerintahan Majapahit dipegang oleh Bhre Pamotan dengan gelar Sri Rajawarddhana. Rajawarddhana juga disebut Sang Sinagara. Dalam kitab Pararaton disebutkan bahwa ia berkedudukan di Keling, Kahuripan. Ini lebih dikuatkan lagi oleh Prasasti Waringin Pitu yang dikeluarkan oleh Kertawijaya (1447).
Sepeninggal Rajawarddhana (1453), Kerajaan Majapahit selama tiga tahun (1453–1456) tidak mempunyai seorang raja.
Pada tahun 1456 Majapahit diperintah oleh Bhre Wengker dengan gelar Girindrawardhana. Bhre Wengker adalah anak Bhre Tumapel Kertawijaya. Masa pemerintahannya berlangsung selama 10 tahun (1456–1466).
Keruntuhan Kerajaan Majapahit
Berkembangnya agama Islam di pesisir utara Jawa yang kemudian diikuti berdirinya Kerajaan Demak mempercepat kemunduran Kerajaan Majapahit. Raja dan pejabat penting Demak adalah keturunan Raja Majapahit yang sudah masuk Islam. Mereka masih menyimpan dendam nenek moyangnya sehingga Majapahit berusaha dihancurkan. Peristiwa itu terjadi pada tahun 1518–1521. Penyerangan Demak terhadap Majapahit itu dipimpin oleh Adipati Unus (cucu Bhre Kertabhumi).
b. Aspek Kehidupan Sosial
Wilayah kekuasaan Majapahit pada saat pemerintahan Hayam Wuruk meliputi seluruh Nusantara, termasuk Singapura dan Semenanjung Melayu. Bahkan, pengaruh Kerajaan Majapahit terasa sampai ke luar Nusantara, yaitu ke Filipina Selatan dan Thailand (Campa). Wilayah yang luas itu dibagi-bagi dalam delapan daerah atau disebut Daerah Delapan, yaitu Jawa, Sumatera, Kalimantan (Tanjungpura), Semenanjung Melayu, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku, dan Papua.
Majapahit merupakan kerajaan Hindu yang diketahui agak lengkap struktur pemerintahannya. Struktur pemerintahaan Kerajaan Majapahit mencerminkan adanya kekuasaan yang bersifat teritorial dan sentralisasi. Raja dianggap sebagai penjelmaan dewa yang memegang kekuasaan politik sehingga dengan sendirinya menempati struktur pemerintahan tertinggi di kerajaan.
Dalam menjalankan pemerintahan, raja dibantu oleh sejumlah pejabat. Adapun nama jabatan tersebut adalah sebagai berikut.
1) Rakryan Mahamantri Katrini
Rakryan Mahamantri Katrini dijabat oleh putra-putra raja yang merupakan gabungan jabatan dari pangkat rakryan mahamantri i hino, rakryan mahamantri i halu, dan rakryan mahamantri i sirikan.
2) Rakryan Mantri Pakira-Kiran
Rakryan Mantri Pakira-Kiran adalah suatu dewan yang terdiri atas lima orang pejabat tinggi kerajaan yang berfungsi sebagai badan pelaksana pemerintahan. Dewan ini terdiri atas patih hamangkubumi (perdana menteri), rakryan tumenggung, rakryan demung, rakryan rangga, dan rakryan kanuruhan. Kelima pejabat itu juga disebut Sang Pancaring Wilwatikta atau Menteri Mancanagara. Selain dewan menteri, masih banyak menteri lainnya, seperti werdhamenteri, yuwamenteri, dan aryadhikara.
3) Dharmmaddyaksa
Dharmmaddyaksa adalah jabatan bidang keagamaan. Jabatan untuk urusan agama Syiwa disebut dharmmaddhyaksa ring kasaiwan, sedangkan jabatan untuk agama Buddha disebut dharmmaddhyaksa ring kasogatan.
Kedua jabatan itu masih dibantu oleh para pejabat bawahannya yang disebut dharmaupapati atau sang pamegat. Jumlah mereka banyak sekali. Akan tetapi, di dalam prasasti-prasasti peninggalan Majapahit biasanya yang disebut paling banyak tujuh orang. Pada zaman Hayam Wuruk dikenal adanya tujuh upapati yang disebut sang upapati sapta. Ketujuh upapati itu adalah sang pamegat i tirwan, sang pamegat i kandamuhi, sang pamegat i manghuri, sang pamegat i pamwatan, sang pamegat i jambi, sang pamegat i kandangat atuha, dan sang pamegat i kandangan rare.
4) Urusan Kelautan dan Angkatan Laut
Urusan kelautan dan angkatan laut dipegang oleh Laksamana Nala. Ia telah berjasa besar dalam berbagai ekspansinya ke luar Jawa untuk menyatukan Nusantara.
Di samping jabatan tersebut, raja juga mempunyai suatu lembaga yang berfungsi sebagai dewan pertimbangan kerajaan. Dewan pertimbangan kerajaan itu disebut Bhatara Sapta Prabu.
Pada waktu tertentu diselenggarakan upacara Srrada di ibu kota kerajaan dengan tujuan menghormati arwah nenek moyang. Upacara Srrada dihadiri oleh semua pejabat termasuk para adipati. Upacara Srrada yang paling besar diselenggarakan pada tahun 1362, yaitu pada saat memperingati 12 tahun meninggalnya Rajapatni atas perintah ibunda Raja Tribuwanatunggadewi.
Raja Hayam Wuruk sangat memperhatikan pula keadaan daerah-daerah kerajaan. Beberapa kali ia mengadakan perjalanan kenegaraan meninjau daerah kekuasaan Majapahit dengan disertai para pembesar kerajaan. Di antaranya adalah perjalanan ke daerah
1) Pajang (1351),
2) Lasem (1354),
3) Lumajang (1359),
4) Blitar (1361),
5) Simping sambil meresmikan sebuah candi (1363), dan
6) Kediri (1365).
Pada masa Kerajaan Majapahit berkembang agama Hindu Syiwa dan Buddha. Kedua umat beragama itu memiliki toleransi yang besar sehingga tercipta kerukunan umat beragama yang baik. Raja Hayam Wuruk beragama Syiwa, sedangkan Gajah Mada beragama Buddha. Namun, mereka dapat bekerja sama dengan baik.
Rakyat ikut meneladaninya, bahkan Empu Tantular menyatakan bahwa kedua agama itu merupakan satu kesatuan yang disebut Syiwa–Buddha. Hal itu ditegaskan lagi dalam kitab Sutasoma dengan kalimat Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharmma Mangrwa. Artinya, walaupun beraneka ragam, tetap dalam satu kesatuan, tidak ada agama yang mendua.
Urusan keagamaan diserahkan kepada pejabat tinggi yang disebut dharmmaddhyaksa. Jabatan itu dibagi dua, yaitu dharmmaddhyaksa ring kasaiwan untuk urusan agama Syiwa dan dharmmaddhyaksa ring kasogatan untuk urusan agama Buddha. Kedua pejabat itu dibantu oleh sejumlah pejabat keagamaan yang disebut dharmmaupatti. Pejabat itu, pada zaman Hayam Wuruk yang terkenal ada tujuh orang yang disebut sang upatti sapta. Di samping sebagai pejabat keagamaan, para upatti juga dikenal sebagai kelompok cendekiawan atau pujangga. Misalnya, Empu Prapanca adalah seorang dharmmaddhyaksa dan juga seorang pujangga besar dengan kitabnya Negarakertagama.
Untuk keperluan ibadah, raja juga melakukan perbaikan dan pembangunan candi-candi.
c. Aspek Kehidupan Ekonomi
Kegiatan ekonomi yang dijalankan oleh rakyat dan pemerintah Kerajaan Majapahit adalah sebagai berikut.
1) Di Pulau Jawa dititikberatkan pada sektor pertanian rakyat yang banyak menghasilkan bahan makanan.
2) Di luar Jawa, terutama bagian timur (Maluku), dititikberatkan pada tanaman rempah-rempah dan tanaman perdagangan lainnya.
3) Di sepanjang sungai-sungai besar berkembang kegiatan perdagangan yang menghubungkan daerah pantai dan pedalaman.
4) Di kota-kota pelabuhan, seperti Tuban, Gresik, Sedayu, Ujung Galuh, Canggu, dan Surabaya, dikembangkan perdagangan antarpulau dan dengan luar negeri, seperti Cina, Campa, dan India.
5) Dari kota-kota pelabuhan, pemerintah menerima bea cukai, sedangkan dari raja-raja daerah pemerintah menerima pajak dan upeti dalam jumlah yang cukup besar.
Perekonomian yang maju ini membuat rakyat hidup sejahtera dan keluarga raja beserta para pejabat negara lebih makmur lagi.
d. Aspek Kehidupan Kebudayaan
Pada masa Majapahit bidang seni budaya berkembang pesat, terutama seni sastra. Karya seni sastra yang dihasilkan pada masa Majapahit, antara lain sebagai berikut.
1) Kitab Negarakertagama karangan Empu Prapanca pada tahun 1365. Isinya menceritakan hal-hal sebagai berikut.
a) Sejarah raja-raja Singasari dan Majapahit dengan masa pemerintahannya.
b) Keadaan kota Majapahit dan daerah-daerah kekuasaannya.
c) Kisah perjalanan Raja Hayam Wuruk ketika berkunjung ke daerah kekuasaannya di Jawa Timur beserta daftar candi-candi yang ada.
d) Kehidupan keagamaan dengan upacara-upacara sakralnya, misalnya upacara srrada untuk menghormati roh Gayatri dan menambah kesaktian raja.
2) Kitab Sutasoma karangan Empu Tantular. Kitab tersebut berisi riwayat Sutasoma, seorang anak raja yang menjadi pendeta Buddha.Di dalamnya menyebutkan “Mangka jinatwan lawan siwa tatwa tunggal Bhinneka Tunggal Ika Tan Hanna Dharma Mangrwa” Walau berbeda agama /kepercayaan namun tetap satu jua.
3) Kitab Arjunawijaya karangan Empu Tantular. Kitab tersebut berisi tentang riwayat raja raksasa yang berhasil ditundukkan oleh Raja Arjunasasrabahu.
4) Kitab Kunjarakarna dan Parthayajna, tidak jelas siapa pengarangnya. Kitab itu berisi kisah raksasa Kunjarakarna yang ingin menjadi manusia, dan pengembaraan Pandawa di hutan karena kalah bermain dadu dengan Kurawa.
Di samping seni sastra, seni bangunan juga berkembang pesat. Bermacam-macam candi didirikan dengan ciri khas Jawa Timur, yaitu dibuat dari bata, misalnya Candi Penataran, Candi Tigawangi, Candi Surawana, Candi Jabung, dan Gapura Bajang Ratu.
Majapahit mencapai puncak kejayaan berkat usaha Patih Gajah Mada dan Raja Hayam Wuruk. Pada tahun 1364 Gajah Mada meninggal. Hal itu menimbulkan kesulitan bagi Raja Hayam Wuruk untuk mencari penggantinya. Oleh karena itu, tugas patih hamangkubumi diserahkan kepada dewan menteri yang terdiri atas Empu Tanding, Empu Nala, dan Patih Dami. Setelah tiga tahun dari kematian Gajah Mada, raja mengangkat Gajah Enggon menjadi patih hamangkubumi.
Pada tahun 1389 Raja Hayam Wuruk mangkat dan di-dharma-kan di Tayung (daerah Berbek, Kediri). Hayam Wuruk mempunyai seorang putri dan seorang putra dari dua orang istri. Dari permaisurinya lahir Kusumawardhani, sedangkan dari selirnya lahir Bhre Wirabhumi.
Kisah Mistis Gajah Ndekem Cepokosawit, Awas Bisa Kualat, Kemaluan Membengkak!
Situs Gajah Ndekem merupakan salah satu cagar budaya di Boyolali. Terletak di Dukuh Senden, Desa Cepokosawit, Boyolali situs ini merupakan peninggalan Kerajaan Mataran Kuno.
Kisah mistis melingkupi situs Gajah Ndekem. Nama tersebut disematkan, lantaran arca itu berupa gajah duduk seperti bersembunyi atau dalam bahasa Jawa dikenal dekem, sehingga situs ini diberi nama situs Gajah Ndekem.
“Siapa yang berani nunggangi mbah gajah, bisa kuwalat. Waktu saya kecil, saya hanya dapat memandangi saja, tidak berani macam-macam, apalagi sampai menunggangi punggungnya,” tutur Wurianta, Sekretaris Desa Cepokosawit, saat menemani Solopos.com menilik kondisi situs Gajah Ndekem di Dukuh Senden, Desa Cepokosawit, Boyolali, Rabu (17/6/2015) siang.
Menurut cerita yang berkembang, siapapun yang berani menunggangi punggung sang gajah, maka kemaluannya akan membengkak dan mengalami sakit luar biasa di bagian tersebut.
Diakui Wurianta, tak satupun orang yang berani bertingkah aneh apalagi sampai menunggangi sang gajah walau sekadar berfoto selfie dengan posisi seolah-olah menunggangi sekalipun.
Asal Mula Situs
Wurianta yang sedari kecil tinggal di Desa Cepokosawit mengatakan situs tersebut memang memiliki banyak cerita yang berkembang dari mulut ke mulut, dari generasi ke generasi. Cerita-cerita seperti itu, entah darimana asalnya, serta benar dan tidaknya tak ada seorang pun yang mengetahui secara pasti.
Kembali ke cerita di balik asal-usul situs Gajah ndekem, tak banyak warga yang tahu sejarah riil situs tersebut. Salah seorang warga sesepuh dari RT 008/RW 002 Dukuh Senden, Desa Cepokosawit, Sukimin, mengatakan gajah tersebut dulunya datang dari Prambanan. Dia berubah menjadi arca penjaga emas yang dipercaya berada di bawah permukaan tanah, tepat di bawah kaki sang gajah.
“Itu dulu tidak hanya arca gajah. Ada banyak pusaka, arca perempuan bersimpuh, arca kepala kambing, dan masih banyak lagi, tapi sudah dipindahkan ke Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala di Prambanan. Hanya arca gajah ini saja yang tidak bisa dipindahkan,” kata dia saat dijumpai Solopos.com di lokasi situs Gajah Ndekem, Rabu.
Sementara itu versi lain dari naskah yang tersimpan di Kantor Desa Cepokosawit mengatakan cerita situs Gajah Ndekem berawal dari kerajaan Mataram Kuno.
Di tengah huru-hara perebutan tahta kerajaan, salah satu anggota kerajaan, Pangeran Eling-Eling, kalah perang. Dalam pelariannya, gajah putih yang mengangkut perhiasan dan harta bendanya diubah menjadi arca untuk mencegah perampasan harta oleh kawanan musuh.
wonosegoro
Konon kira-kira dalam abad masehi ke XVII pada zaman jaya-jayanya kerajaan mataram, zaman Sri Raja Pandita Syang Panembahan Senopati, setelah wafatnya. zaman Kyai Ageng Pamanahan mataram jaya.
Miyos salah satu putra mahkota yang sangat pekik, namun dari segi kodrat alami, sarira putra mahkota sinungjaroh beban wiyosan, maka diberikan sisinglon nama pangeran Pekik Rogosari, Rogopuspo, Rogowulan, Rogosasi.
Dan perlu di putraasuhkan kepada sesuatu brahmana untuk mendapat asuhan kependetaan atau kebrahmanaan.
Memang telah menjadi adat dinasti kerajaan zaman itu, putra mahkota seperti pangeran Pekik Rogowulan harus mengalami asuhan kebrahmanaan, linggar dari istana kerajaan, makuwon di atas imawan, menyelinap di tengah-tengah rakyat mencelup jiwa, menghisap ilmu sapuh sepi ing pamrih, pamer, muhung mamrih pamoring jiwa mamoring kawula lawan gusti tunggal.
Ngrucat sarira kanarendran nebihi mangkuwengkuning praja, muhung ngalop mengku ilmu Panggahikan, inggawitan misah diri nyeyepi desi, desi teteki dedunung ngardi.
Kadi kang tinempuh laku dening pangeran Pekik Rogosasi.
Konon legenda katitipake/diasuhake kepada suatu wiku bernama Kyai Wonosegoro bertempat di lereng gunung merapi.
Catatan :
Kyai Wonosegoro bukan Kebokonigoro dari kerajaan pengging.
Di dalam asuhan Kyai Wonosegoro sampai datang usia akhir dewasa dan cukup ilmu Pangawikan, terpaksa memohon memisah diri dari Kyai Wonosegoro untuk bercikal bakal membangun desa sendiri.
Adapun wawasan dari pangawikan pangeran Rogosasi sendiri hanya satu-satunya anak bukit arah timur laut dari padepokan yang layak akan menajadi desa kediamannya.
Di atas bukit itulah terlihat oleh pangeran Rogosasi penuh keramat dan terlalu amat angker, pusat kerajaan jin, hantu dan jin kemamang(legenda rakyat). Ringkas legenda, Kyai Wonosegoro merestui dan pangeran Rogowulan pun melaksanakan meditasi, menaklukkan kerajaan jin dan hantu kemamang, di atas anak bukit angker tersebut. Dan setelah takluk dilaksanakan pembabatan kayu-kayu rerungkudan dan didirikanlah suatu pakuwon ( tempat meditasi).
Arah kaki bukit sebelah timur yang dijadikan padepokan ( rumah pengajar dan dalem pribadi ) serta didirikan tempat ibadat ( masjid ).
Di Tumang khususnya di padepokan Gunung sari Kyai Ageng mengadakan Paguruan Pangawikan ( pendidikan Pengetahuan) khususnya agama islam kuna (salafiah)/kuwaliyan, ciri khasnya islam tasauf bukan ciri khas islam fiqqiyah seperti zaman ini, zaman salaf belum berkembang ke situ.
Pangawikan Kyai Ageng hingga meluas tersohor sehingga priyagung-priyagung kota pun puruwito ke pangawikan Kyai Ageng, hingga luas kemashurannya.
Kerja sambilan bercocok tanam di ladang, tanah rendah sebelah utara pakuwon, yang dijadikan ladang pencahar dan diberi nama Sitimendak.
Desa Tumang makin menjadi rame karena banyak para Nara projo dan bangsawan-bangsawan yang sama puruwito Pangawikan ke desa Tumang Kyai Ageng Rogosasi.
Dan banyak juga para bangsawan-bangsawanyang terpikat lama di Tumang, sehingga membuka tempat-tempat pamondokan, bangelo-bangelo, villa-villa dll. Untuk selama bertahan bertahun-tahun berpuruwito dengan sodoran dan saduran antar susilaan budaya sosial maupun ekonomi, terjadilah desa Tumang menjadi desa Prabudaya ekonomi dan sosialnya.
Suatu keuntungan atas tujuan manunggal dalam pangawikan yang disesepuhi oleh Kyai Ageng Rogosasi, masyarakat Tumang walaupun dalam keadaan bercorak ragam budaya, ekonomi maupun susila dan sosial namun bersatu erat, aman, tentram di dalam suh pangawikan menuju kepada manunggaling sembah kawula terhadap gusti yang maha esa.
Itulah atsar dan tsawab, karamatnya Kyai Ageng Rogosasi hingga zaman pancaroba sekarang, masyarakat Tumang tetap utuh erat berpegangan sambah kawula terhadap gusti yang maha esa.
Catatan :
Dari bahasa arab Atsar artinya : jejak bekas
Tsawab : adat laku
Karamat : keunggulan/keluhuran
Selesai pembangunan pangran menobatkan diri dengan restu Kyai Wonosegoro. Dengan dalih Kyai Ageng Rogosasi.
Anak nukit dan padepokan sekelilingnya lokasi dinamakan Gunung sari.
Adapun desa wilayah kekuasaan Kyai Rogosasi termasukk desa/kampung/ lokasi gunungsari di berikan nama desa Tumang. Diambil dari tempat kerajaan jin hantu dan kemamang yang telah ditaklukkan oleh Kyai Ageng Rogosasi ( dalam legenda rakyat). Wilayah pusat desa Tumang kurang lebih 2x1 Km.
Situs Sejarah Kerajaan Wonosegoro
Situs Sejarah Kerajaan Wonosegoro
A. Latar Belakang Penelitian
Masalah pelestarian benda cagar budaya tidak hanya mutlak harus dilakukan oleh pemerintah. Upaya pelestarian juga diharapkan dari partisipasi anggota masyarakat terutama kaum pelajar agar terjadi kesinambungan dalam pengembangan dan pemanfaatan benda cagar budaya tersebut di masa yang akan datang. Sudah saatnya para pelajar menumbuhkan kembali kepekaan dan kemandirian dalam melihat dan mencermati lingkungannya sebagaimana halnya kondisi yang telah mengakar di lingkungannya pada masa lalu.
Di daerah Kecamatan Wonosegoro, Kabupaten Boyolali terdapat sebuah cagar budaya yang sampai saat ini kurang begitu dikenal. Bahkan lokasi ini agak dijauhi warga karena dianggap “wingit”. Namun, jika mau dikaji lebih jauh, lokasi ini sebenarnya menyimpan data-data arkeologis yang penting untuk melacak kembali keberadaan sebuah kerajaan yang bercorak Hindu. Berdasarkan pemikiran tersebut, penelitian ini dilakukan untuk mencoba merekontruksi lokasi kerajaan tersebut berdasarkan artefak yang ada serta wawancara yang dilakukan peneliti terhadap beberapa narasumber.
B. Rumusan Masalah
Mengacu pada latar belakang pemikiran di atas, rumusan penelitian adalah sebagai berikut, ”Apakah cagar budaya yang terletak di Kecamatan Wonosegoro ini merupakan peninggalan sebuah Kerajaan Hindu?”
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dilakukannya penelitian di cagar budaya Wonosegoro ini adalah untuk mengungkap kebenaran ada tidaknya tinggalan bangunan kuna yang diperkirakan sebuah Kerajaan Hindu.
Adapun manfaat dari penelitian ini secara umum adalah untuk memberikan kontribusi akademis terkait dengan Sejarah Kebudayaan Indonesia. Sedangkan secara khusus, penelitian ini bermaksud untuk memperjelas keberadaan cagar budaya ini agar mendapatkan perhatian yang selayaknya dari pihak-pihak yang berwenang..
D. Kajian Pustaka
1. Pelestarian Benda Cagar Budaya
Benda cagar budaya merupakan kekayaan budaya bangsa yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan sehingga perlu dilindungi dan dilestarikan demi pemupukan kesadaran jati diri bangsa dan kepentingan nasional. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Benda Cagar Budaya menyatakan bahwa perlindungan benda cagar budaya sebagai salah satu upaya bagi pelestarian warisan budaya bangsa, merupakan usaha untuk memupuk kebanggaan nasional dan memperkokoh jati diri bangsa.
Upaya pelestarian benda cagar budaya tersebut, sangat besar artinya bagi kepentingan pembinaan dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan, serta pemanfaatan dalam rangka memajukan kebudayan bangsa demi kepentingan nasional. Untuk kepentingan perlindungan dan pelestarian benda cagar budaya, baik mengenai penguasaan, pemilikan, pendaftaran, pengalihan, penemuan, pencarian, pemeliharaan maupun pemanfaatan benda cagar budaya.
2. Sejarah Kerajaan Mataram Kuno
Pada Masa Kerajaan Mataram Kuno (Kerajaan Medang periode Jawa Tengah), dinasti yang dikenal adalah wangsa Sanjaya. Istilah Wangsa Sanjaya diperkenalkan oleh sejarawan bernama Dr. Bosch dalam karangannya yang berjudul Sriwijaya, de Sailendrawamsa en de Sanjayawamsa (1952). Ia menyebutkan bahwa, di Kerajaan Medang terdapat dua dinasti yang berkuasa, yaitu dinasti Sanjaya dan Sailendra. Istilah Wangsa Sanjaya merujuk kepada nama pendiri Kerajaan Medang, yaitu Sanjaya yang memerintah sekitar tahun 732. Berdasarkan Prasasti Canggal (732 M) diketahui Sanjaya adalah penerus raja Jawa Sanna, menganut agama Hindu aliran Siwa, dan berkiblat ke Kunjarakunja di daerah India, dan mendirikan Shivalingga baru yang menunjukkan membangun pusat pemerintahan baru. Candi Prambanan, salah satu peninggalan Wangsa Sanjaya.
Menurut penafsiran atas naskah Carita Parahyangan yang disusun dari zaman kemudian, Sanjaya digambarkan sebagai pangeran dari Galuh yang akhirnya berkuasa di Mataram. Ibu dari Sanjaya adalah Sanaha, cucu Ratu Shima dari Kerajaan Kalingga di Jepara. Ayah dari Sanjaya adalah Sena/Sanna/Bratasenawa, raja Galuh ketiga. Sena adalah putra Mandiminyak, raja Galuh kedua (702-709 M). Dikemudian hari, Sanjaya yang merupakan penerus Kerajaan Galuh yang sah, menyerang Galuh dengan bantuan Tarusbawa, raja Sunda. Penyerangan ini bertujuan untuk melengserkan Purbasora. Saat Tarusbawa meninggal pada tahun 723, kekuasaan Sunda dan Galuh berada di tangan Sanjaya. Di tangannya, Sunda dan Galuh bersatu kembali. Tahun 732, Sanjaya menyerahkan kekuasaan Sunda-Galuh kepada putranya Rarkyan Panaraban (Tamperan).
Di Kalingga, Sanjaya memegang kekuasaan selama 22 tahun (732-754), yang kemudian diganti oleh puteranya dari Déwi Sudiwara, yaitu Rakai Panangkaran. Secara garis besar kisah dari Carita Parahyangan ini sesuai dengan prasasti Canggal. Rakai Panangkaran dikalahkan oleh dinasti pendatang dari Sumatra yang bernama Wangsa Sailendra. Berdasarkan penafsiran atas Prasasti Kalasan (778 M), pada tahun 778 raja Sailendra yang beragama Buddha aliran Mahayana memerintah Rakai Panangkaran untuk mendirikan Candi Kalasan. Sejak saat itu Kerajaan Medang dikuasai oleh Wangsa Sailendra. Sampai akhirnya seorang putri mahkota Sailendra yang bernama Pramodawardhani menikah dengan Rakai Pikatan, seorang keturunan Sanjaya, pada tahun 840–an. Rakai Pikatan kemudian mewarisi takhta mertuanya. Dengan demikian, Wangsa Sanjaya kembali berkuasa di Medang.
3. Kerajaan Ratu Boko
Kompleks Situs Istana atau Keraton Ratu Boko berada di puncak bukit dengan ketinggian sekitar 196 meter atau tepatnya 195, 97 meter di atas permukaan laut menempati areal seluas 250.000 m2. Keraton Ratu Boko terletak di Bukit Boko, sekitar 19 kilometer ke arah timur dari kota Yogyakarta (menuju ke arah Wonosari), dari arah barat kota Solo sekitar 50 kilometer dan sekitar 3 kilometer dari Candi Prambanan ke arah selatan. Sumber prasasti yang dikeluarkan oleh Rakai Panangkaran tahun 746-784 Masehi, menyebutkan bahwa Keraton Ratu Boko merupakan Abhayagiri Vihara. Abhaya berarti tidak ada bahaya, Giri berarti bukit/ gunung, vihara berarti asrama/ tempat. Dengan demikian Abhayagiri Vihara berarti asrama/ tempat para bhiksu agama Budha yang terletak di atas bukit yang penuh kedamaian atau vihara tempat para Bhiksu mencari kedamaian,tempat menyepi dan memfokuskan diri pada kehidupan spiritual. Pada periode berikutnya tahun sekitar tahun 856 Masehi, kompleksAbhayagiri Vihara tersebut difungsikan sebagai Keraton Walaing oleh Rakai Walaing Pu Khumbayoni yang beragama Hindu. Oleh karena itu tidak mengherankan bila unsur agama Hindu dan Buddha tampak bercampur di bangunan ini.
Istana Ratu Boko memiliki keunikan dibanding peninggalan sejarah lainnya. Jika bangunan lain umumnya berupa candi atau kuil, maka sesuai namanya, istana atau keraton ini menunjukkan ciri-ciri sebagai tempat tinggal. Hal itu terlihat dari adanya sisa bangunan di kompleks ini berupa tiang-tiang pemancang meski kini hanya tinggal batur-batur dari batu andesit, mengindikasikan bahwa dahulu terdapat bangunan yang berdiri di atasnya terbuat dari bahan kayu. Selain itu terdapat pula tanah ngarai yang luas dan subur di sebelah selatan untuk daerah pertanian dan di Bukit Boko terdapat kolam-kolam sebagai tandon penampung air yang berukuran kecil hingga besar. Kompleks bangunan di Bukit Boko disebut sebagai keraton. Hal tersebut disinggung dalam prasasti dan juga karena mirip dengan gambaran sebuah keraton. Kitab kesusasteraan Bharatayudah, Kresnayana, Gatotkacasraya, dan Bhomakawya, menyebutkan bahwa keraton merupakan kompleks bangunan yang dikelilingi pagar gapura, di dalamnya terdapat kolam dan sejumlah bangunan lain seperti bangunan pemujaan dan di luar keraton terdapat alun-alun. Dengan demikian kompleks bangunan ini diduga memang merupakan kompleks istana atau keraton.
Tata ruang kompleks Keraton Ratu Boko relatif masih lengkap. Dari pintu gerbang istana menuju ke bagian tengah Bagian depan, yaitu bagian utama, terdapat dua buah gapura tinggi, gapura yang terdiri dari dua lapis. Gapura pertama memiliki 3 pintu sementara gapura kedua memiliki 5 pintu. Setelah melewati gapura utama ini, terdapat hamparan rumput luas, yaitu alun-alun. Tak jauh dari situ, akan ditemukan pula Candi Pembakaran. Arah tenggara dari Candi Pembakaran terdapat sumur misteri. Konon, sumur tersebut bernama Amerta Mantana yang berarti air suci yang diberikan mantra. Airnya hingga kini masih sering dipakai. Masyarakat setempat mengatakan, air sumur itu dapat membawa keberuntungan. Ke arah Barat, menyusuri Desa Dawung di lereng bukit, terdapat bekas kompleks keraton yaitu Paseban dan Batur Pendopo. Ke bagian timur istana, terdapat dua buah gua, kolam besar berukuran 20 meter x 50 meter dan stupa Budha yang terlihat tenang. Hal yang menarik di Keraton Ratu Boko, selain peninggalan Budha juga ditemukan benda-benda arkeologis peninggalan Hindu seperti lingga, yoni, arca durga, dan ganesha. Meski didirikan oleh seorang Budha, Keraton Ratu Boko merupakan sebuah situs kombinasi antara Budha dan Hindu, ini dapat dilihat dari bentuk-bentuk yang ada, yang biasanya terdapat pada candi Budha, selain itu terdapat pula tiga candi kecil sebagai elemen dari agama Hindu, dengan adanya Lingga dan Yoni, patung Dewi Durga, dan Ganesha, serta lempengan emas yang bertuliskan “Om Rudra ya namah swaha” sebagai bentuk pemujaan terhadap Dewa Rudra yang merupakan nama lain Dewa Siwa.
4. Metodologi Penelitian
Penelitian ini berjenis deskriptif kualitatif. Guna menjawab rumusan masalah, peneliti membahas permasalahan ini dengan pendekatan kualitatif serta kajian yang bersifat deskriptif. Data dikumpulkan melalui wawancara, pengamatan di lapangan, dan studi pustaka. Wawancara dilakukan terhadap Bapak Didik, Warga Mongkrong yang berusia 40 tahun sebagai salah satu tokoh yang peduli dengan keberadaan cagar budaya ini. Data yang ada kemudian dideskripsikan dalam bentuk uraian, pengertian ataupun penjelasan serta hubungan-hubungan.
5. Hasil Penelitian
1. Situs Dan Status
Gambar 1: Lokasi Penemuan Cagar Budaya
a
c
b
f
e
b
d
Gambar 2. Lokasi Penemuan artefak(google maps).
Situs Istana Kerajaan Wonosegoro terletak di Dusun Mongkrong, Desa Karangjati, Kecamatan Wonosegoro, Kabupaten Boyolali, tepatnya 1 km di sebelah barat Kantor Camat Wonosegoro sekarang. Meski situs ini seakan-akan hilang dari kaca mata sejarah namun apabila diamati lebih dekat masih tampak jelas bekas-bekas baik secara geologi maupun artefak yang masih tertinggal sampai saat ini.
Apabila dilihat dari artefak yang ditinggalkan, situs ini merupakan lokasi istana kerajaan yang bercorak Hindhu, terbukti di sini ditemukan material batu bata yang identik dengan bangunan yang ditemukan di Jawa Timur, lingga yoni sebagai lambang siwa, dan sebagainya.
Artefak
a. Batu Lumpang
Batu ini bentuknya beraneka macam, yang pasti di tengah-tengah terdapat lubang yang sengaja dibuat oleh pemahat, yang menurut kitab Pustaka Raja batu ini sebagai tanda makam atau batas istana yang ditemukan tersebar dalam area situs yang luasnya sekitar 1 ha. Sebagai tanda makam, batu lumpang ini terbagi dalam tiga kategori, yaitu :
a) Persegi : merupakan makam Raja.
b) Segi tiga : merupakan makam golongan kasta ksatria.
c) Bebas : merupakan makam golongan masyarakat waisya’.
d) Untuk sudra dimakamkan di pemakaman umum.
Terkait dengan batu lumpang ini, terdapat keyakinan yang sampai saat ini dianut para pemburu harta karun, bahwa menurut kitab Pustaka Raja, setiap 20 m arah barat laut tempat penemuan batu lumpang apabila digali terdapat harta karun dalam bentuk logam mulia. Memang dalam ajaran budha apabila seseorang meninggal maka harta yang menjadi miliknya disertakan untuk dikubur.
b. Lingga Yoni
Pada situs ini masih tertinggal tiga lingga yoni dengan ukuran yang berbeda. Menurut ahli purbakala, ketiga lingga yoni ini memiliki fungsi yang berbeda yaitu :
a) Ukuran besar: berfungsi untuk legitimasi / pengabsahan raja.
b) Ukuran sedang : untuk memuja dewa siwa.
c) Ukuran kecil: untuk memuja dewi kesuburan.( ditemukan di area persawahan ).
c. Pelataran dan Gerbang Istana
Di sebelah selatan situs ini sangat cocok sekali apabila disebut sebagai pelataran istana, kerena areanya datar dan dikelilingi sungai dan tangga naik menuju pusat situs. Menurut kitab Pustaka Raja, di depan istana terdapat pelataran tempat gladi prajurit dan upacara kenegaraan yang dikelilingi sungai dan di seberang sungai terdapat makam. Hal ini sama persis dengan yang ada di lapangan, bahkan di sebelah timur gerbang masih terdapat pohon palem yang merupakan pohon purba, yang sangat mungkin merupakan bekas taman istana.
d. Mata Air Kehidupan
Di sebelah barat daya istana terdapat dua mata air/ sendang yang hidup sepanjang tahun tak pernah kering yang merupakan pemandian pada masa itu.
e. Makam Budha
Situs makam budha ini terletak di seberang sungai depan pelataran dan juga ditemukan 6 km di sebelah barat laut situs, tepatnya di dusun Rincing, desa Gunungsari, Kec. Wonosegoro. Menurut Kitab Pustaka Raja Ciri khas makam Budha ada dua kategori, yaitu :
1) Membujur arah timur barat : merupakan makam Raja.
2) Membujur arah barat laut : merupakan makam umum.
Dua hal di atas terdapat pada situs ini. Berdasarkan usia artefak yang ditemukan , ternyata situs ini merupakan situs istana kerajaan budha yang kemudian alih fungsi menjadi kerajaan hindhu.
f. Batu Bunyi
Batu ini jika di tengah siang hari kalau dipegang terdengar suara gemuruh. Tempat ini merupakan situs dimana para pendeta menjalankan ritual samadi untuk mendapatkan kesaktian.
Prediksi
Situs ini sampai sekarang masih dikenal dengan nama “ Punden Nogosari Sewu” atau disebut juga “makam R. Joyolono“. Di tempat ini dulu merupakan tempat seribu tanaman tumbuh sebagai ramuan obat-obatan untuk segala macam penyakit, yang paling terkenal pada saat itu adalah Pohon Nogosari yang memiliki khasiat sangat tinggi dan bukan sembarang orang dapat mengambil. Ternyata kayu ini berat jenisnya melebihi berat jenis air sehingga tenggelam apabila dimasukkan ke dalamnya. Bisa disimpulkan bahwa kerajaan yang ditemukan di Wonosegoro ini mempunyai kesamaan dengan Istana Ratu Boko dikarenakan kemiripan tata letaknya (lihat lampiran 1) dan juga ada hubungan dengan Wangsa Sanjaya maupun Syailendra (lihat lampiran 2)
4. Penutup
Meski sampai saat ini situs kerajaan wonosegoro masih terputus keterkaitan sejarahnya, namun paling tidak dapat kita ambil kesimpulan bahwa pada masa hindu budha di wonosegoro sudah terdapat peradaban yang begitu tinggi terbukti adanya penemuan aneka macam artefak. Namun sayang banyak artefak yang sudah diambil atau dijual oleh orang – orang yang tidak bertanggung jawab.
DAFTAR PUSTAKA
Slamet Muljana, 2006, Sriwijaya ( terbitan ulang 1960 ) Yogyakarta, LKIS.
I Wayan Badrika, 2006, Sejarah Untuk SMA Kelas XI, Erlangga, Jakarta.
S.L. Cardoso. Tt, Kursus B1 Tertulis Sejarah Seni India, Mudul Kuliah.
Fuad Hasan, 1988, Renungan Budaya, BalaiPustaka , Jakarta.
Jakob Sumardjo , 2002, Arkeologi Bidaya Indonesia, Penerbit Qalam, Yogyakarta.
Google Maps, 16 Mei 2012
Lampiran 1:
LOKASI ISTANA KERAJAAN WONOSEGORO
KAWASAN BUDHA
DS.RINCING
Batu Lumpang( tanda makam )
Batu Lumpang ( tanda makam )
Tempat penemuan lingga yoni.
Batu segi delapan tempat samadi ( dipegang berbunyi gemuruh ).
Pintu gerbang istana.
Sumur panguripan ( tak pernah kering/ pemandian keluarga raja).
MAKAM
ISTANA
2
3
KE SALATIGA KE GUWO
P
A
S
A
R
KE KR.GEDE
CAYLENDRA
( BUDHA )
SANJAYA
( HINDU )
PREDIKSI KAITAN SEJARAH KERAJAAN WONOSEGORO
WONOSEGORO
HINDU
JATENG UTARA
ISTANA
WONOSEGORO
( BUDHA )
ISTANA RATU BOKO
PERSAINGAN
PENGARUH
KERAJAAN MATARAM HINDU
TOKOH :
R. JOYOLONO ( PUNDEN NOGOSARI SEWU )
RATU GEMBOLO PATI ( RATU KERAJAAN WONOSEGORO HINDHU )
RORO JONGGRANG ( ANAK GEMBOLOPATI )
BANDUNG BONDOWOSO ( PENGGING )
PRABU BOKKO
Tempat Wisata Boyolali
Tempat Wisata Pemandian, Boyolali
Tirto Marto Pengging, Wisata Boyolali
Tempat wisata pemandian di Desa Dukuh, Kecamatan Banyudono, sekitar 12 km dari Kota Boyolali, yang pada jaman dahulu hanya digunakan oleh Raja dan keluarga Kraton Kasunanan Surakarta. Di sini terdapat Umbul Ngabeyan yang merupakan pemandian Pakubuwono X, serta Umbul Dudo dan Umbul Temanten.
Umbul Tlatar, Wisata Boyolali
Tempat wisata pemandian alam Umbul Asem dan Umbul Pengilon di Dukuh Tlatar, Desa Kebonbimo, Kecamatan Boyolali, sekitar 7 km arah utara Kota Boyolali, yang dilengkapi dengan panggung terbuka, rumah makan terapung, dan kolam pancingan.
Tempat Wisata Makam dan Petilasan, Boyolali
Makam Ki Ageng Kebo Kenanga, Wisata Boyolali
Tempat wisata di Dukuh Pengging, Desa Jembungan, Kecamatan Banyudono yang merupakan makam Ki Ageng Kebo Kenanga, yang masih merupakan keturunan raja-raja Majapahit.
Makam Ki Ageng Singoprono, Wisata Boyolali
Tempat wisata di Desa Nglembu, Kecamatan Sambi, sekitar 15 km dari Kota Boyolali, dengan ratusan anak tangga menuju makam Ki Ageng Singoprono yang berada di puncak Gunung Tugel.
Makam Prabu Handayaningrat, Wisata Boyolali
Tempat wisata ziarah makam yang berada di Dukuh Malang, Desa Dukuh, Kecamatan Banyudono, yang juga masih merupakan keturunan raja-raja Majapahit.
Makam Raden Ngabehi Yosodipuro, Wisata Boyolali
Tempat wisata ziarah makam di Desa Pengging, Kecamatan Banyudono, yang berada di dekat Masjid Cipto Mulyo Pengging, salah satu pujangga Kasunanan Surakarta yang hidup di masa Pemerintahan Pakubuwono II, III dan IV.
Pesanggrahan Pracimoharjo, Wisata Boyolali
Tempat wisata di Desa Paras, Kecamatan Cepogo, sekitar 6 km dari kota Boyolali, yang merupakan petilasan sholat Sri Susuhunan Paku Buwono X dari Kasunanan Surakarta.
Petilasan Ki Ageng Pantaran, Wisata Boyolali
Tempat wisata ziarah di Desa Candisari, Kecamatan Ampel, sekitar 17 km dari Kota Boyolali. Ki Ageng Pantaran, atau Syeh Maulana Ibrahim Maghribi, dikenal masyarakat setempat ketika mendirikan Masjid Pantaran yang seusia Masjid Demak Bintoro, dan berhasil menemukan mata air besar di perut gunung Merbabu yang dikenal dengan nama Grojokan Sipendok.
Petilasan Ki Kebo Kanigoro, Wisata Boyolali
Tempat wisata di Dukuh Pojok, Desa Samiran, Kecamatan Selo, Boyolali, yang konon merupakan tempat petilasan Ki Kebo Kanigoro. Nama Kebo Kanigoro, putera dari Ki Ageng Pengging Sepuh, ditemukan dalam kisah fiksi Nagasasra – Sabuk Inten yang dikarang oleh SH Mintardja.
Tempat Wisata Waduk, Boyolali
Waduk Cengklik, Wisata Boyolali
Tempat wisata di Desa Ngargorejo dan Sobokerto, Kecamatan Ngemplak, sekitar 20 km dari Kota Boyolali dengan luas genangan 300 ha, yang dibangun pada jaman kolonial Belanda.
Wana Wisata Kedung Ombo, Wisata Boyolali
Tempat wisata di Desa Wonoharjo, Kecamatan Kemusu, sekitar 50 km dari Kota Boyolali yang menyediakan Bumi Perkemahan, Hutan Wisata, Tempat Pemancingan, Rumah Makan Apung, dan Wisata Air.
Tempat Wisata Air Terjun, Boyolali
Air Terjun Kedung Kayang, Wisata Boyolali
Tempat wisata air terjun yang berada di Desa Klakah, sekitar 5 km dari Kecamatan Selo, yang terletak diantara kabupaten Boyolali dan Magelang.
Tempat Wisata Masjid, Boyolali
Masjid Cipto Mulyo Pengging, Wisata Boyolali
Tempat wisata masjid di lokasi wisata air Pengging yang merupakan peninggalan Raja Pakubuwono X, bergaya arsitektur mesjid khas dengan ornamen kayu.
Tempat Wisata Alam, Boyolali
Selo Pass, Wisata Boyolali
Tempat wisata di Kecamatan Selo, di sekitar gunung Merapi dan Merbabu, dengan pemandangan alam indah, dimana setiap malam 1 Suro diadakan acara Sedekah Gunung. Selo merupakan pos para pendaki sebelum naik ke Gunung Merapi dan Gunung Merbabu.
SEJARAH BOYOLALI
SEJARAH BOYOLALI / ASAL-USUL BOYOLALI
BOYOLALI, JAWA TENGAH, INDONESIA
SEJARAH BOYOLALI
Asal mula nama BOYOLALI menurut cerita serat Babad Pengging Serat Mataram, nama Boyolali tak disebutkan. Demikian juga pada masa Kerajaan Demak Bintoro maupun Kerajaan Pengging, nama Boyolali belum dikenal. Menurut legenda nama BOYOLALI berhubungan dengan ceritera Ki Ageng Pandan Arang (Bupati Semarang pada abad XVI. Alkisah, Ki Ageng Pandan Arang yang lebih dikenal dengan Tumenggung Notoprojo diramalkan oleh Sunan Kalijogo sebagai Wali penutup menggantikan Syeh Siti Jenar. Oleh Sunan Kalijogo, Ki Ageng Pandan Arang diutus untuk menuju ke Gunung Jabalakat di Tembayat (Klaten) untuk syiar agama Islam. Dalam perjalananannya dari Semarang menuju Tembayat Ki Ageng banyak menemui rintangan dan batu sandungan sebagai ujian. Ki Ageng berjalan cukup jauh meninggalkan anak dan istri ketika berada di sebuah hutan belantara beliau dirampok oleh tiga orang yang mengira beliau membawa harta benda ternyata dugaan itu keliru maka tempat inilah sekarang dikenal dengan nama SALATIGA. Perjalanan diteruskan hingga sampailah disuatu tempat yang banyak pohon bambu kuning atau bambu Ampel dan tempat inilah sekarang dikenal dengan nama Ampel yang merupakan salah satu kecamatan di Boyolali. Dalam menempuh perjalanan yang jauh ini, Ki Ageng Pandan Arang semakin meninggalkan anak dan istri. Sambil menunggu mereka, Ki Ageng Beristirahat di sebuah Batu Besar yang berada di tengah sungai. Dalam istirahatnya Ki Ageng Berucap “ BAYAWIS LALI WONG IKI” yang dalam bahasa indonesia artinya “Sudah lupakah orang ini”.Dari kata Baya Wis Lali/ maka jadilah nama BOYOLALI. Batu besar yang berada di Kali Pepe yang membelah kota Boyolali mungkinkah ini tempat beristirahat Ki Ageng Pandan Arang. Mungkin tak ada yang bisa menjawab dan sampai sekarang pun belum pernah ada meneliti tentang keberadaan batu ini.Demikian juga sebuah batu yang cukup besar yang berada di depan Pasar Sunggingan Boyolali, konon menurut masyarakat setempat batu ini dulu adalahtempat untuk beristirahat Nyi Ageng Pandan Arang. Dalam istirahatnya Nyi Ageng mengetuk-ngetukan tongkatnya di batu ini dan batu ini menjadi berlekuk-lekuk mirip sebuah dakon (mainan anak-anak tempo dulu). Karena batu ini mirip dakon, masyarakat disekitar Pasar Sunggingan menyebutnya mBah Dakon dan hingga sekarang batu ini dikeramatkan oleh penduduk dan merekapun tak ada yang berani mengusiknya.
Penetapan Hari Jadi Kabupaten Boyolali tidaklah mudah. Untuk menetapkan hari jadi yang selalu diperingati setiap tanggal 5 pada bulan Juni memakan waktu yang cukup lama dan perlu penelusuran sejarah yang panjang. Penetapan Hari Jadi Kabupaten Boyolali sebelumnya telah dilakukan penelitian oleh Lembaga Penelitian Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penelitian ini didasarkan atas SuratPerjanjian Kerja sama antara Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Boyolali dengan dengan Lembaga Penelitian UNS pada 11 September 1981. Setelah melakukan penelusuran sejarah, selanjutnya pada 23 Pebruari 1982 di Gedung DPRD Kabupaten Boyolali diselenggarakan seminar tentang SEJARAH HARI JADI KABUPATEN DAERAH TINGKAT II BOYOLALI. Dalam seminar ini telah disimpulkan tanggal 5 Juni 1847 merupakan Hari Jadi Kabupaten Boyolali. Selanjutnya melalui Rapat Paripurna DPRD pada tanggal 13 Maret1982 telah ditetapkan Peraturan Daerah Tingkat II Kabupaten Boyolali Nomor 3 Tahun 1982 tentang Sejarah dan Hari Jadi Kabupaten Boyolali. Perda tersebut telah diundangkan melalui Lembaran Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Boyolali pada tanggal 22 Maret 1982 Nomor 5 Tahun 1982 Seri D Nomor 3.
Sumber : boyolalikab.go.id
Langganan:
Postingan (Atom)