ROGOBRATI "CARE"




KARANGTARUNA MENGUCAPKAN

SELAMAT DATANG DIDESA BANDUNG MAS N MBAK BROOOO

Jumat, 26 Februari 2016

RADEN TUMENGGUNG PRAWIRODIGDOYO

RADEN TUMENGGUNG PRAWIRODIGDOYO Lahir kurang lebih pada tahun 1780 sebagai anak kedua dari Raden Ngabehi Surotaruno III yang merupakan keturunan dari ayah garis keenam dari I.S.K.S. Amangkurat Agung, (Tegal) keturunan dari Pangeran Notobroto I, Ibu garis keempat dari I.S.K.S. Pakubuwono I (Pangeran Puger) dari B.P.H. Puruboyo (Lumajang). Raden Tumenggung Prawirodigdoyo dibesarkan di daerah Gagatan dan semenjak masih kecil telah memiliki kelebihan dibandingkan dengan teman-teman sebayanya sebagai contoh pada waktu menginjak usia 8 tahun, Raden Tumenggung Prawirodigdoyo telah bisa menaiki kuda dan hari-demi hari teman-teman sepermainannya semakin sayang dengannya. Gagatan merupakan dukuh di kaki pegunungan Kendeng terletak ditepi sungai ketoyan (Wonosegoro), sedangkan arti gagatan sendiri ada bermacam-macam yaitu dari kata gagat yang bermakna pagi-pagi benar atau sebelum matahari terbit, ettapi jika dibaca dengan menggunakan aksara jawa maka gagat sendiri adalah berarti kuat sekali yang memiliki makna apabila beradu kekuatan sampai titik darah penghabisan (dilabuhi pecahing dada, wutahing ludira), jika dipisah suku kata gagatan akan menjadi dua kata yang bermakna lain yaitu gaga (padi yang ditanan di ladang) dan ketan (padi ketan). Di Gagatan jika kita berkunjung kesana maka akan kita jumpai gundukan tanah yang menurut cerita terdapat dua versi yang pertama adalah makam Kyai Berah atau Dinrah (yang berasal dari kata modin dan lurah) yang kediua menurut K.R.M. Mloyosunaryo gundukan tersebut adalah bekas galian tanah tempat bertapa pendem I.S.K.S Pakubuwono VI bersama-sama dengan Raden Tumenggung Prawirodidoyo yang memberikan ilmunya berupa Ajidipa dan membuat sumpah untuk memerangi penjajah Belanda. Penjajahan Belanda kian hari menjadi kian kejam, dan hal ini juga dirasakan didaerah Gagatan, sebelum pecah perang Diponegoro telah banyak persekutuan antara penguasa daerah menentang penjajahan Belanda. Menurut cerita, Raden Tumenggung Prawirodidoyo memiliki pasukan sejumlah 6000 orang dengan bersenjatakan tombak, pedang, bandil dan empat buah pucuk meriam dan memiliki sebuah pusaka yang berupa sebuah kentongan pemberian dari Kyai Gunung Merbabu dengan khasiat apabila dipukul satu kali dapat terdengar diseluruh Kabupaten, rakyat yang mendengarnya akan siap siaga dan apabila dipukul dua kali maka bagi yang tidur akan bangun semua dan siap siaga dan yang takut menjadi pemberani, jika dipukul tiga kali, semuanya akan berangkat ke Gagatan dengan senjata lengkap. Hal tersebut ternyata diketahui oleh pihak Belanda dan ditulis dalam buku De Java Oorlog jilid I halaman 362. Kegigihan Raden Tumenggung Prawirodidoyo dan I.S.K.S Pakubuwono VI dalam menumpas Belanda digambarkan sebagai seorang yang naik kuda yang baru ditangkap dari hutan dan terus dinaiki sampai di kancah peperangan, sedangkan I.S.K.S Pakubuwono VI digambarkan sebagai seekor harimau buas yang ditusuk-tusuk oleh tombak. R.T. Prawirodigdoyo didampingi oleh Kyai singomanjat Imam Rozi, Kyai Singolodra Umar Sidig dan Kyai Suhodo Som dan Kyai Singoyudo pada tahun 1827 mengadakan peperangan di Desa Klengkong dan pihak belanda yang waktu itu dipimpin oleh Mayor Has, Kapten Win dan Regel dan senopati dari Mataram antara lain B.P.H Murdaningrat, B.P.H Hadiwinoto, B.P.H. Hadiwijoyo dan R.T Nitinegoro bertempur dengan hebatnya, terlihat bahwa kekuatan kedua kubu seimbang dan seorang dari prajurit yang ada di Klengkong yang berpakaian celana bludru biru dengan baju tretes dengan srempang kuning emas besar dan bertopi bundar besar (songkok) yang tidak lain adalah telah terjatuh dari kudanya setelah terkena peluru meriam, namun masih dapat diselamatkan oleh para prajurit dan dibawa ke Desa Kedung Gubah dan dirawat oleh R.A. Sumirah selama 15 hari dan tepatnya sampai pada malam Jumat Pon tanggal 30 Nopember 1827 gugur karena luka dalam yang dideritanya. sebelum meninggal Raden Tumenggung Prawirodidoyo berpesan agar nanti jasadnya dimakamkan di dekat makam gurunya Seh Kalikojipang di makam Blunyah Gede dan saat nanti agar Pangeran Diponegoro serta senopati-senopati yang ada supaya lebih berhati-hati sebab sekembalinya setelah berpesan demikian Raden Tumenggung Prawirodidoyo menghembuskan nafas terahir disaksikan oleh Pangeran Diponegoro, Kyai Mojo, dan R.A. Sumirah dan seperti pesan terahir yang disampaikan Raden Tumenggung Prawirodidoyo dimakamkan di Makam Bluyah Gede.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

monggo koment